Saat ini sudah menjadi umum bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kebiasaan makan-makan saat ngumpul. Ketika memperingati hari tertentu, apalagi saat ada hajatan, sudah pasti berkumpul dan makan. Hingga saat upacara kematian juga ngumpul dan makan.
Meski juga ada istilah "makan gak makan, yang penting ngumpul", namun jika ada rejeki tentu akan diusahakan juga untuk makan bersama walau dengan menu sederhana. Mungkin kebiasaan ini sudah dianggap biasa. Dan positifnya bisa mempersatukan keluarga dan masyarakat.
Tapi tentunya setiap kebiasaan maupun tradisi ada sejarahnya. Ingatkah dengan pesan Bung Karno? "Jas Merah" yaitu JAngan Sampai MElupakan sejaRAH.
Dari itu saya jadi teringat tradisi yang dilakukan orang-orang tua jaman dulu di lingkungan saya, Sajen. Saya menduga kebiasaan sajen memiliki hubungan dengan kebiasaan makan bersama saat ini. Meskipun tradisi makan bersama tidak mutlak dipengaruhi tradisi sajen. Karena ada kebiasaan makan bersama juga pengaruh dari Belanda, yaitu Rijsttafel. Dan juga tradisi makan bersama dari etnis lainnya.
Bubur merah putih
Saat kecil saya pernah lihat ada sewadah kecil dari daun pisang berisi bubur nasi merah putih diletakkan di kolong ranjang. Warna merah dari gula aren, sementara putih bubur nasi tawar.
Dan ternyata itu sajen atau sesajen atau sesaji. Itu tradisi umum di lingkungan masyarakat Jawa atau Kejawen. Tapi masalahnya keluarga saya muslim. Tentunya itu bertentangan dengan ajaran Islam.
Tradisi sajen itu sudah turun temurun dari nenek buyut. Meski sudah tinggal di Sumatera, namun mereka masih memegang erat tradisi Jawa. Tapi perlahan tradisi itu mulai pudar atau dimodifikasi memasuki masa anak cucu yang mulai mengenyam pendidikan umum dan agama.
Dari jaman mamak saya sudah mulai ada perubahan. Namun namanya tradisi jaman dulu yang sudah turun temurun, maka agak sulit menghilangkannya. Diketahui bahwa itu merupakan tradisi masyarakat Jawa yang dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Saat sudah memeluk Islam, tradisi lama masih melekat.
Kata orang-orang tua jaman dulu, mempersembahkan sajen itu bentuk "ramah tamah" kepada roh halus atau Mbah Buyut. Tradisi itu diperhalus dengan sebutan "adat".
Seperti Bubur Merah Putih, ternyata itu tradisi sajen yang saya saksikan itu merupakan "sisa-sisanya" saja setelah terjadi banyak perubahan.
Kabarnya dulu di lingkungan saya kalau mempersembahkan sajen itu ya menunya lengkap dan lezat pada zamannya. Nasi beserta sayur dan lauknya daging Ayam. Juga lengkap dengan buah-buahan. Sesajen seperti itu disediakan ketika ada hajatan pernikahan maupun khitanan. Ada sajen yang diletakkan di dalam rumah, gerbang dan sekitar kampung.
Sebuah sesembahan yang mewah. Bahkan belum tentu setahun sekali anak-anak pada masa itu bisa makan Ayam. Dari situlah generasi anak cucu (termasuk mamak saya) yang sudah mulai mengerti, mulai menentangnya.
Dengan peran ustad kampung juga, perlahan tradisi mulai berubah. Barangkali inilah yang disebut dengan meng-Islam-kan Jawa. Dari awalnya sesembah mewah hingga menjadi bubur merah putih saja.
Pada akhirnya tradisi bubur merah putih itu tetap dilakukan hingga kini. Di momen seperti ulang tahun, selametan sembuh dari sakit dan sebagainya. Hanya "ritualnya" berubah. Tidak lagi ditaruh di kolong ranjang, namun dibagi-bagi kepada saudara dan tetangga sekitar.
Jadinya sekarang apa-apa serba makan
"Daripada (sajen) dimakan hantu, lebih baik dimakan bareng-bareng" kata guru ngaji mamak saya (1970-an).
Maksudnya bukan memakan sejajen. Melainkan daripada menyediakan makanan untuk sajen, lebih baik memasak makanan dan dimakan bersama.
Nasihat seperti itu turun temurun hingga saya. Dari situ saya mulai berpikir. Apa mungkin sekarang ini jadinya apa-apa serba makan-makan? Apapun momennya, diperingati dengan makan.
Kelahiran makan, ulang tahun makan, menikah makan, tahun baru makan, selametan makan, dapat rejeki makan, Bahkan untuk memperingati hari kematian juga dengan makanan.
Sebenarnya itu tidak ada masalah untuk dilakukan. Jika ada rejeki, tidak ada salahnya untuk memasak lebih dan berbagi pada sesama.
Sementara itu Sesajen merupakan tradisi adat istiadat masyarakat lokal. Sesungguhnya tidak ada permasalahan soal itu. Bagi mereka yang masih menganut Aliran Kepercayaan Lokal, silahkan saja melakukannya.
Hanya saja ketika kita sudah memasuki hukum Agama. Maka sepenuhnya ajarannya harus diikuti dan dipatuhi. Dan semuanya bisa disesuaikan antara Agama dan Adat kebudayaan.
Meng-Islam-kan Jawa, bukan berarti meninggalkan tradisi Jawa. Tradisi Bubur Merah Putih, Nasi Liwet, Nasi Tumpeng, Ayam Ingkung dan sebagainya tetap bisa dilakukan beriringan dengan ajaran Islam. Saya masih sering jumpai menu-menu tersebut saat menghadiri acara Kenduri.
Namun ritual dan cara memaknainya sudah berubah. Kini sesaji itu tidak lagi diperuntukan bagi selain Allah SWT. Melainkan sebagai wujud rasa syukur pada Allah SWT dan diamalkan dalam kegiatan berbagi kepada sesama.
Maka dugaan saya menjadi tidak mengada-ngada terkait awal mula mengapa orang-orang suka memperingati suatu momen dengan makan bersama.