Senin, 19 April 2021

Kesimpulan ‘Ikatan Cinta’: Semuanya Gara-gara Ikut Campur Urusan Orang Lain


Sejujurnya saya tidak suka nonton sinetron. Namun, beginilah hidup di bukan kota besar, dalam keluarga sederhana, dimana menikmati hiburan berdasarkan nilai ekonomis dan tv di rumah cuma satu. Otomatis, seorang milenial seperti saya ini juga mengikuti sinetron Ikatan Cinta.

Beruntunglah kalian yang penasaran dengan sinetron viral di masa pandemi ini, tapi gengsi mau nonton. Kiranya tulisan ini bisa membantu selesaikan sedikit masalahmu.

Andin ikut campur masalah Elsa dan Roy

Judul sinetronnya Ikatan Cinta. Tapi bagi saya, kesimpulan sejauh ini bukan semata tentang cinta. Apakah kemesraan Aldebaran dan Andin belum cukup?

Tidak bisa dimungkiri, kemistri antara Mas Al dan Mbak Andin memang jempolan. Itulah daya tarik dari sinetron ini. Tapi maaf, itu sudah mainstream.

Di balik itu ada satu pelajaran penting di sini. Dari Ikatan Cinta kita belajar, bahwa jangan suka ikut campur urusan orang lain. Jika boleh berkesimpulan sementara, masalah yang timbul dari cerita Ikatan Cinta sebenarnya karena tokoh utamanya yaitu Andin yang terlalu ikut campur urusan orang lain, Elsa (adik Andin) dan Roy (adik Aldebaran).

Bermula dari peristiwa pembunuhan Roy. Sebuah kasus yang bisa dibilang sebagai inti dari kisah ini. Mungkin sampai sinetron ini tamat, teka teki pembunuhan Roy baru terbongkar.

Dipicu pernikahan Andin dan Nino (sekarang mantan suami Andin, Bapaknya Reyna, dan suami Elsa sekarang). Nino ini mantannya Elsa. Sementara Andin mantannya Roy. Barisan para mantan yang belum bisa move on dan mulai berkonspirasi.

Sampai tahap ijab kabul, mereka, Elsa dan Roy masih saja tidak mau menyerahkan. Tapi, mereka gagal. Lalu melampiaskan kekecewaan mereka dengan mabuk-mabukan. Maka terjadilah sesuatu yang biasa terjadi ketika dua orang dewasa pria dan wanita mabuk.

Sementara Andin dan Nino telah menikah dan menikmati masa bulan madunya, hingga Andin mengandung anak dari suami sah nya. Dan Elsa mengandung anak Roy, tapi si bapak gak mau tanggung jawab.

Sampai tahap ini sebenarnya hidup Andin sudah bahagia. Meski Nino bukanlah “Sultan” seperti Aldebaran. Tapi itu bukan masalah baginya. Hingga tibalah Elsa meminta tolong pada Andin untuk membantu selesaikan masalahnya dengan Roy.

Menurut saya, Andin nggak wajib membantu Elsa. Toh, Elsa dan Roy sama-sama sudah dewasa dan semestinya paham itu semua akibat perbuatannya sendiri.

Tapi, begitulah Andin, dia terlalu polos dan baik. Cukup disayangkan mengapa Andin sampai ikut campur urusan Elsa dan Roy. Terutama cara Andin yang mempertemukan keduanya di rumahnya, saat tidak ada suami dan saksi lainnya.

Singkatnya terjadilah malapetaka Roy terbunuh. Seperti yang ditakutkan sebelumnya. Andin lah yang tertuduh. Saat itu sangat sulit untuk tidak menuduh Andin sebagai pembunuh Roy. Di Indonesia kalau ada orang menyediakan arena judi, meski tidak berjudi, tetap akan diciduk polisi. Kira-kira begitulah gambarannya.

Andin dipenjara dan suami menceraikannya. Melahirkan di penjara tapi anaknya difitnah hasil perselingkuhan dengan Roy. Hancurlah hidup Andin saat itu. Begitu jahatnya “Tante Frozen” ini.

Gantian orang lain yang ikut campur urusan Andin

Andini Kharisma Putri layaknya berlian, meski kecemplung ke lumpur tetaplah sebuah berlian. Kebenaran bahwa Andin tidak membunuh perlahan mulai terungkap. Mulai banyak yang membantu membongkar kembali kasus Roy.

Aldebaran, yang awalnya dendam sama Andin. Kini sudah jatuh cinta dan bertekad mengungkap kasus istrinya itu. Tapi, sepertinya belum banyak progres signifikan. Mas Al masih fokus mengungkap identitas Reyna (yang sebenarnya anaknya Nino & Andin, bukan dengan Roy).

Sementara penyelidikan kasus Andin, Aldebaran pasrahkan pada Angga (teman Roy, antagonis yang sudah tobat, suka sama Mici) dan Mici (teman dan suka sama Aldebaran, tapi cinta bertepuk sebelah tangan). Progres Angga dan Mici juga belum berarti, sebab disabotase Elsa. Atau karena Angga sibuk modusin Mici.

Lucunya Nino (yang sudah nikah sama Elsa) yang dulu nggak percaya sama Andi, kini juga ikut selidiki kasus Andin. Kemana aja selama ini, No? Begitulah kata Papa Surya (bapaknya Andin) yang bodo amat sama Nino.

Tapi, restu Papa Surya untuk ungkap kasus Andin diberikan pada Rafael (senior Andin di kampus, berharap sama Andin tapi dia udah tahu diri) yang atas hubungan “kakak-adik” dengan Andin, ingin membersihkan nama baik juniornya itu. Singkatnya Rafael berkolaborasi dengan Nino. Tapi, penyelidikan belum ada hasil yang berarti. Sama seperti duet Angga-Mici, disabotase Elsa.

Sejauh ini penyelidikan keroyokan tapi tidak bersinergi ini, tidak menunjukkan tanda bahwa misteri pembunuhan Roy akan terungkap dalam waktu dekat.

Sangat menarik mengamati tindakan ikut campur Andin pada masalah Elsa-Roy. Dan kini kebalikannya, banyak pihak yang ikut campur dalam kasus yang menimpa Andin. Jika ditelusuri lagi, Papa Surya juga sering ikut campur urusan rumah tangga anaknya. Bawaannya ingin bawa pulang Andin jika ribut sama Aldebaran. Namanya keturunan.

Semuanya saling ikut campur urusan satu sama lain. Kiki dan Mirna (pembantu di rumah Aldebaran) juga keponya nggak ketulungan, terutama Mirna yang penasaran rahasia keluarga Alfahri. Sepertinya sifat “kurang terpuji” ini menjadi bahan baku pembuat konflik dalam cerita ini.

Yang jelas, dari Sinetron Ikatan Cinta kita belajar, selain tidak ikut campur urusan orang lain. Juga jangan selalu berpikir bahwa dirimu dapat menyelesaikan masalah orang lain dengan mudah.

Artikel ini sudah terbit di Terminal Mojok

Kata ‘Apa’ dalam Konteks Bahasa Medan Itu Sakti dan Serbaguna

Mak Beti & Wak Keling

Sebenarnya ini bukan bahasa Medan, melainkan bahasa yang sering digunakan di Medan. Yang sebenarnya juga bukan cuma di Medan. Tapi, juga di Binjai, Deli Serdang, dan secara umumnya di Sumatera Utara bahkan di provinsi sebelah. Namun, selanjutnya akan saya sebut bahasa Medan karena konteksnya memang dialek daerah.

Sudah banyak artikel yang membahas tentang keunikan bahasa di Sumatera Utara. Kata orang-orang bahasa di sini kasar dan ngegas. Misalnya kalimat, “Apa ko gak sor!” Jika kalian sedang di Sumatera Utara dan ada yang bilang begitu pada, itu artinya orang tersebut ngajak ribut. Mending kabur aja jangan cari masalah.

Kata “apa” di sini selain unik, juga istimewa dan sakti. Kalau ibarat catur, kata “apa” seperti bidak ratu atau perdana menteri. Bisa digunakan untuk apa saja.

Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah subjek, predikat, objek, dan keterangan. Nah, dengan kata sakti ini, kita tidak perlu pusing-pusing mikirin SPOK-nya. Gunakan saja kata sakti ini.

Dalam banyak artikel yang membahas keunikan bahasa Medan, kata “apa” sering dicontohkan dalam kalimat seperti, “Apa cak ko apakan dulu apa ini, supaya nggak apa kali di apa itu.” Bebas saja mau menerjemahkannya, seperti, “Rian, coba kamu betulkan dulu antena ini, biar nggak goyang kali di atas itu.”

Sementara itu kata sakti “apa” dalam bahasa Medan, tidak hanya terpaku pada kata “apa, apa dan apa” saja. Konsepnya juga bisa digunakan dalam bahasa daerah.

Saya orang Jawa di Sumatera Utara, begitu juga keluarga saya. Bahasa Jawa yang digunakan disini juga jadi mengikuti bahasa pasaran di Medan.

Mamak saya sering berkata, “Anu e wes di anu e?” Dan parahnya saya bisa mengerti, maksudnya, “Apanya udah diapakan?” atau “Mejikomnya udah dicetekkan?”

Tahukah kamu? Kalimat di atas sebenarnya bisa sesuka hati mau diartikan apa saja. Toh konteksnya juga nggak jelas. Terserah kita dong mau mengartikannya gimana.

Mungkin saya bisa membenci pikiran saya karena dapat mengerti maksudnya dari kalimat khas anak Medan ini. Apakah ini bakat alami yang saya miliki?

Rahasianya adalah, agar dapat memahami penggunaan kata “apa” harus ada kedekatan dan kebiasaan. Ini mungkin umum terjadi. Jika kita sudah memiliki hubungan dekat dengan seseorang, komunikasi itu terkadang memiliki “kata sandi” tersendiri. Tidak perlu bicara panjang lebar, tapi sudah sama-sama paham. Bahkan cuma pakai bahasa isyarat saja sudah paham.

Jangan heran jika berkomunikasi dengan orang lokal di Medan, kata “apa” sering muncul. Awalnya kamu mungkin nggak akan paham maksudnya, lama-kelamaan kamu akan paham. Selanjutnya kamu akan ikut menggunakan. Menurut saya ini adalah sebuah dialek unik yang belum tentu ada di daerah lain.

Entahlah ini semacam kemampuan spiritual atau gimana. Terkadang bicara dengan kedipan mata juga sudah paham. Dan soal kata “apa, apa dan apa ini”. Saat ada orang bicara begitu pada saya, secara alamiah gitu aja saya juga membalasnya begitu.

“Apanya itu dong diapakan?”
“Apanya yang ini?”
*Angguk*
“Uda diapain kok. Nggak usah diapa-apain lagi. Uda apa dia”

Ini mungkin terdengar gila. Atau sebuah “penistaan” terhadap kaidah bahasa. Tapi, inilah sebuah kebiasaan, yang saya yakin disetiap daerah di Indonesia juga menyimpan keunikan cara berkomunikasinya masing-masing.

Artikel ini sudah terbit di Terminal MojokTerminal Mojok