Ketika memasuki suatu lingkungan baru. Awalnya saya heran melihat sejumlah orang lalu lalang naik motor. Pakai jaket dan helm, seolah sedang dalam perjalanan jauh. Tapi baru berjalan sedikit, motornya sudah bertepi. Dari satu rumah ke rumah satunya lagi. Pakai bawa buku catatan segala. Dan ternyata inilah klu dari tanya di tulisan ini.
Sebenarnya orang Indonesia uangnya banyak atau sedikit? Katanya gak punya uang (lagi susah karena Corona), tapi kok bisa belanja ke mall. Uangnya dari mana? Dari bansos atau bakri.
Ini sebenarnya tidak etis juga mengurusi isi dompet orang lain. Apalagi sampai ke urusan asal-usul dana. Emangnya lu KPK!
Tapi ini sudah kepalang tanggung dan gemes. Dan penasaran juga. Orang-orang sudah berbui untuk menjaga jarak, hindari kerumunan dan sebagainya untuk menghentikan penyebaran virus Corona. Tapi sebagian orang-orang lainnya justru keluyuran untuk suatu hal yang kurang esensial, bersifat selebrasi dan seharusnya masih bisa ditiadakan.
Saat Covid-19 mewabah. Hampir seluruh negeri ini mengeluh kesulitan ekonomi, dipecat dan sebagainya. Tapi saat kemarin jelang hari Lebaran mall dan pusat perbelanjaan diserbu banyak orang. Dan tujuannya membeli baju baru untuk dipakai di hari raya, *gak ada pun gak apa-apa, masih ada jemuran tetangga.
Belum lagi ada yang mudik. Walaupun mudiknya sembunyi-sembunyi di mobil truk. Tapi justru ongkosnya jadi banyak. Karena harus gonta-ganti angkutan dan tidak jarang ada biaya-biaya tambahan yang tak terduga. Banyak juga ya uang warga +62.
Reaksi pertama kita mungkin akan berpikir; "kemarin-kemarin katanya gak punya uang bahkan untuk makan sekalipun, tapi kok bisa belanja ke mall". Mencoba ber-huznudzon, bisa juga ya mereka itu begitu dapat rejeki nomplok. Nemu uang dijalan misalnya. Tapi kebetulan seperti apa hingga ada sebanyak itu orang yang nemu uang dijalan dalam waktu bersamaan.
Kemudian dugaan umum sumber dana lainnya yaitu dari Bansos. Ini uda rahasia umum kok. Setiap ada dapat bantuan sosial dari pemerintah, kebanyak orang akan langsung membelanjakannya. Jika untuk keperluan primer mungkin tak apa. Tapi di masa sekarang semestinya diminimalkan untuk tidak belanja keperluan sekunder. Terutama jangan sampai menimbulkan kerumunan hanya demi kepentingan sekunder.
Lalu ada rahasia lain dari warga +62 terkait berapa banyak uangnya. Rahasia ini mungkin tidak diketahui oleh orang-orang kaya. Berhubung saya masyarakat kalangan bawah. Maka sedikit banyaknya saya paham rahasia ini. Hehehe...
Rahasianya ada pada sejumlah orang berjaket, bermotor dan pakai helm yang sudah disebutkan di awal artikel ini. Kalau saya menyebutnya "bakri" yaitu "bapak-bapak kredit". Kadang juga ibu-ibu. Merekalah sumber uang dari beberapa orang. Meminjam uang pada mereka sungguh menggiurkan ternyata. Syaratnya mudah dan tanpa jaminan. Bayarnya juga terkadang hanya bayar bunganya saja. Terkesan pinjaman ringan, tapi bikin ketagihan hutang dan tanpa disadari membebani keuangan.
Inilah rahasianya. Sejumlah orang memang gak segan meminjam uang untuk kepentingan bersifat sekunder. Termasuk untuk perayaan lebaran. Di kondisi normal mungkin hal ini tidak terlalu dirisaukan. Tapi saat Pandemi seperti sekarang. Cari uang saja susah, bagaimana mau bayar cicilan.
Mungkin kalian akan berpikir tindakan ini kelewatan dan memiriskan. Namun memang beginilah kenyataannya di ditengah masyarakat. Bahkan ada kondisi yang lebih mengejutkan bagi saya, ketika melihat banyak orang yang meminjam uang dengan bunga lumayan untuk pesta resepsi. Dan itu sudah biasa.
Dan terkait perayaan Lebaran; baju baru, mudik dan makan besar. Pertama perlu kita tahu, tradisi Lebaran itu sudah sangat mengakar. Disitulah momen beli baju baru, makan enak, kumpul keluarga dan sebagainya.
Rasanya kita juga perlu melihat dari sudut ini. Ada sebagian orang hanya bisa merasakan momen-momen terbaik dalam hidupnya setahun sekali. Sementara sebagian orang lainnya bisa sepanjang tahun. Jadi mengapa ada sebagian orang terlalu memaksakan diri merayakan Lebaran seperti biasanya tanpa pedulikan saat ini masa Pandemi Covid-19. Boleh jadi mereka sudah menantikan momen Lebaran selama setahun. Hingga sangat berat untuk melewatkannya begitu saja.
Tradisi yang begitu mengakar jauh kedalam sungguh sulit untuk "dicabut". Wajar, masa Pandemi Covid-19 memang kondisi ketika banyak "kata pertama kali" muncul untuk pertama kalinya juga.
Pertama kali Lebaran dirumah saja
Pertama kali sungkeman lewat hp
Pertama kali sholat Id dirumah
Dan *pertama kali didalam hidupku ini menyayang dirimu
Sebagai manusia, status kita memang sebagai musafir di dunia yang sementara ini. Tapi tidak semua manusia memiliki jiwa petualang yang terbiasa dengan banyak hal baru.
Jadi untuk menerima sebuah "new normal" bagi sebagian orang sangat sulit. Bahkan untuk memahami arti "new normal" saja belum tentu. Semua yang saya sampaikan diatas merupakan analisis dari yang saya rasakan di sekitar saya.
Mungkin ini seperti "devils in the details". Selama ini kita menghimbau dirumah aja, jaga jarak dan segala macam. Merasa miris, gemas, geregetan dan sebagainya ketika melihat orang berkerumun untuk suatu hal bersifat non-esensial. Tapi kita kurang mengetahui apa sesungguhnya yang mereka pikirkan. Barangkali dengan mengetahui lebih detail, kita jadi tidak terlalu stres.
Jadi kalau ditanya uang orang Indonesia itu sebenarnya banyak atau tidak? Kalian penasaran ketika melihat orang yang mengaku kesusahan ekonomi, bahkan untuk membeli makanan saja tidak bisa. Namun untuk suatu hal bersifat sekunder tetap dipaksakan. Uangnya bisa dari bansos atau juga berhutang. Kita mungkin akan berpikir: " kenapa tidak difokuskan untuk makan saja?". Tapi memang begitulah "normal" yang sudah dipegang oleh banyak orang sejak lama, "gak apa, cuma setahun sekali atau sekali-sekali"